Trauma Healing Anak-Anak Lombok
Tertekan oleh peristiwa bencana gempa bertubi-tubi,
anak-anak Lombok harus berjuang mengatasi trauma diri mereka sendiri.
Hak rasa aman dan nyaman terenggut, begitu juga dengan hak mengakses
pendidikan.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sekitar 606 sekolah rusak, dan 3.051 kelas tak layak digunakan. Dengan demikian, anak-anak yang seharusnya sekolah dan juga ceria, harus mengungsi di tenda-tenda yang sangat dingin ketika malam menyala. Belum lagi, rasa luka akibat kehilangan harta, terutama orang-orang tercinta.
Trauma healing menjadi salah satu solusi yang digencarkan oleh banyak pihak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan, trauma healing bagi anak-anak korban gempa di Lombok penting dilakukan secara berkala.
Namun dia juga menegaskan, trauma healing yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak bukan figeneralisasi.
“Trauma healing harus ada agar anak-anak pulih dari dampak psikis akibat gempa yang terjadi. Namun trauma healing bukan dilakukan oleh KPAI karena mandatnya lebih pada pengawasan, jadi saya meminta agar trauma healing itu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak,” kata Susanto, dilansir dari Republika.co.id.
Setiap anak, menurut Susanto, memiliki trauma yang berbeda-beda. Karena itu sebelum melakukan trauma healing, perlu ada penilaian kondisi psikis setiap anak. Dengan begitu, Susanto mengatakan, trauma healing yang diberikan akan lebih efektif menekan rasa trauma pada anak korban musibah gempa yang terus-menerus menerpa Lombok. \
“Assesment awal harus dilakukan kepada semua anak, dengan berbagai keragaman kondisi psikisnya,” jelas dia.
.
Sementara itu, menurut Idham Khalid selaku aktivis dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), trauma healing bukan hanya dilakukan sesaat setelah pasca bencana kemudian selesai begitu saja. Ia menekankan, perlu diberikan pelatihan terhadap anak-anak dan juga pemuda.
“Trauma healing itu bukan cuma pasca bencana, kemudian pulang, habis. satu tahun dua tahun tidak cukup trauma healing itu. Kita harus mengumpulkan pemuda, kita melakukan pelatihan terhadap mereka, menangani trauma healingnya sendiri,” tutur Idham, saat dihubungi Warta Pilihan, Selasa, (21/8/2018).
Ia melanjutkan, pelatihan tersebut tidak hanya bagaimana memperbaiki diri sendiri secara psikologis, tetapi juga memberikan pelatihan soal bagaimana membangun rumah yang rusak agar mereka mandiri.
“Mulai dari pembangunan rumah yang rusak, apa yang kita tinggalkan, membuat pelatihan mereka. Bagaimana cara masuk ke dinsos, petinggi, penguasa di daerah itu, untuk memperhatikan,” terang dia.
Pengalamannya sebagai relawan selama kurang lebih dua minggu, ia merasa miris karena masih banyak anak-anak yang tadinya bahagia karena bermain dan bernyanyi bersama, tapi sekejap itu pula mereka menangis menyaksikan guncangan dan kepanikan.
Kondisi di Lombok Timur, ia menggambarkan, baik rumah yang bagus, gedung megah, maupun rumah gubuk, semuanya telah rata dengan tanah sebesar 95 persen. Maka, ia menekankan agar trauma healing terus berkelanjutan.
“Kaya miskin tidur bersama, tidur beralas tikar beratapkan tenda, untungnya tidak hujan. Mulai hari ini sudah pasang pompa, biasanya tidak ada air bersih yang layak pakai. Orang di sana bukan minta uang atau makanan, tetapi air,” pungkas dia.
Di sisi lain, salah satu relawan yang berasal asli dari Lombok menceritakan kisahnya kepada Warta Pilihan. Nurlaelan Jagad yang merupakan aktivis di bidang literasi terus berupaya mengedukasi anak melalui buku bacaan, menulis, menggambar, dan bermain bersama.
Penginisasi Bale Baca Nida Urroyan yang berada persis di dekat rumahnya, kini tak bisa disinggahi karena dikhawatirkan masih terdapat gempa susulan. Ia melihat secara jelas, bagaimana anak-anak harus kedinginan setiap malam, dan masih menyaksikan senyuman anak-anak Lombok yang sangat polos.
“(Mengungsi di tenda) dingin banget, terpalnya enggak punya penutup penghalau angin, jadi ini adalah momen yang punya kenangan. Aku berencana ajak mereka untuk menulis apa saja,” kata gadis yang akrab disapa Ela ini.
Penulis puisi ‘Curug Bidadari’ lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia ini, dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan Rumah Baca Asma Nadia untuk memberikan donasi buku bacaan, alat tulis dan alat bermain yang masih membuka pintu donasi sebesar-besarnya. Selain itu, para relawan akan mendongeng.
“Semoga hal sederhana yang diberikan dapat menciptakan kenangan indah di hati adik-adik kita,” terangnya.
Adapun kondisi di daerahnya sendiri, Ela mengungkapkan, masih banyak pemikiran orangtua yang kurang memprioritaskan pendidikan. Maka, ia dan kawan-kawannya bergerak melakukan langkah kecil tetapi signifikan untuk membangkitkan semangat sekolah anak-anak.
“Hal ini menjadi PR bersama bagi pemangku pendidikan dan yang bergerak di bidang literasi untuk membangkitkan kembali sekolah dengan kondisi sudah hancur,”
Ia mengatakan, hal yang paling penting untuk diberikan orangtua kepada anaknya adalah rasa aman dan nyaman. “Kondisinya hari ini dua rasa itu terenggut, maka menjadi PR kita semua untuk mengembalikan keceriaan mereka, kita di sisi lain nggak bisa memaksa mereka sekolah, apalagi mereka yang masih trauma, itu adalah luka untuk anak,” pungkas Ela.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sekitar 606 sekolah rusak, dan 3.051 kelas tak layak digunakan. Dengan demikian, anak-anak yang seharusnya sekolah dan juga ceria, harus mengungsi di tenda-tenda yang sangat dingin ketika malam menyala. Belum lagi, rasa luka akibat kehilangan harta, terutama orang-orang tercinta.
Trauma healing menjadi salah satu solusi yang digencarkan oleh banyak pihak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan, trauma healing bagi anak-anak korban gempa di Lombok penting dilakukan secara berkala.
Namun dia juga menegaskan, trauma healing yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak bukan figeneralisasi.
“Trauma healing harus ada agar anak-anak pulih dari dampak psikis akibat gempa yang terjadi. Namun trauma healing bukan dilakukan oleh KPAI karena mandatnya lebih pada pengawasan, jadi saya meminta agar trauma healing itu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak,” kata Susanto, dilansir dari Republika.co.id.
Setiap anak, menurut Susanto, memiliki trauma yang berbeda-beda. Karena itu sebelum melakukan trauma healing, perlu ada penilaian kondisi psikis setiap anak. Dengan begitu, Susanto mengatakan, trauma healing yang diberikan akan lebih efektif menekan rasa trauma pada anak korban musibah gempa yang terus-menerus menerpa Lombok. \
“Assesment awal harus dilakukan kepada semua anak, dengan berbagai keragaman kondisi psikisnya,” jelas dia.
.
Sementara itu, menurut Idham Khalid selaku aktivis dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), trauma healing bukan hanya dilakukan sesaat setelah pasca bencana kemudian selesai begitu saja. Ia menekankan, perlu diberikan pelatihan terhadap anak-anak dan juga pemuda.
“Trauma healing itu bukan cuma pasca bencana, kemudian pulang, habis. satu tahun dua tahun tidak cukup trauma healing itu. Kita harus mengumpulkan pemuda, kita melakukan pelatihan terhadap mereka, menangani trauma healingnya sendiri,” tutur Idham, saat dihubungi Warta Pilihan, Selasa, (21/8/2018).
Ia melanjutkan, pelatihan tersebut tidak hanya bagaimana memperbaiki diri sendiri secara psikologis, tetapi juga memberikan pelatihan soal bagaimana membangun rumah yang rusak agar mereka mandiri.
“Mulai dari pembangunan rumah yang rusak, apa yang kita tinggalkan, membuat pelatihan mereka. Bagaimana cara masuk ke dinsos, petinggi, penguasa di daerah itu, untuk memperhatikan,” terang dia.
Pengalamannya sebagai relawan selama kurang lebih dua minggu, ia merasa miris karena masih banyak anak-anak yang tadinya bahagia karena bermain dan bernyanyi bersama, tapi sekejap itu pula mereka menangis menyaksikan guncangan dan kepanikan.
Kondisi di Lombok Timur, ia menggambarkan, baik rumah yang bagus, gedung megah, maupun rumah gubuk, semuanya telah rata dengan tanah sebesar 95 persen. Maka, ia menekankan agar trauma healing terus berkelanjutan.
“Kaya miskin tidur bersama, tidur beralas tikar beratapkan tenda, untungnya tidak hujan. Mulai hari ini sudah pasang pompa, biasanya tidak ada air bersih yang layak pakai. Orang di sana bukan minta uang atau makanan, tetapi air,” pungkas dia.
Di sisi lain, salah satu relawan yang berasal asli dari Lombok menceritakan kisahnya kepada Warta Pilihan. Nurlaelan Jagad yang merupakan aktivis di bidang literasi terus berupaya mengedukasi anak melalui buku bacaan, menulis, menggambar, dan bermain bersama.
Penginisasi Bale Baca Nida Urroyan yang berada persis di dekat rumahnya, kini tak bisa disinggahi karena dikhawatirkan masih terdapat gempa susulan. Ia melihat secara jelas, bagaimana anak-anak harus kedinginan setiap malam, dan masih menyaksikan senyuman anak-anak Lombok yang sangat polos.
“(Mengungsi di tenda) dingin banget, terpalnya enggak punya penutup penghalau angin, jadi ini adalah momen yang punya kenangan. Aku berencana ajak mereka untuk menulis apa saja,” kata gadis yang akrab disapa Ela ini.
Penulis puisi ‘Curug Bidadari’ lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia ini, dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan Rumah Baca Asma Nadia untuk memberikan donasi buku bacaan, alat tulis dan alat bermain yang masih membuka pintu donasi sebesar-besarnya. Selain itu, para relawan akan mendongeng.
“Semoga hal sederhana yang diberikan dapat menciptakan kenangan indah di hati adik-adik kita,” terangnya.
Adapun kondisi di daerahnya sendiri, Ela mengungkapkan, masih banyak pemikiran orangtua yang kurang memprioritaskan pendidikan. Maka, ia dan kawan-kawannya bergerak melakukan langkah kecil tetapi signifikan untuk membangkitkan semangat sekolah anak-anak.
“Hal ini menjadi PR bersama bagi pemangku pendidikan dan yang bergerak di bidang literasi untuk membangkitkan kembali sekolah dengan kondisi sudah hancur,”
Ia mengatakan, hal yang paling penting untuk diberikan orangtua kepada anaknya adalah rasa aman dan nyaman. “Kondisinya hari ini dua rasa itu terenggut, maka menjadi PR kita semua untuk mengembalikan keceriaan mereka, kita di sisi lain nggak bisa memaksa mereka sekolah, apalagi mereka yang masih trauma, itu adalah luka untuk anak,” pungkas Ela.
Komentar
Posting Komentar